Pages

Senin, 08 Desember 2014

Video : Alasan Ustadz Felix Siauw Masuk Agama Islam

Power Point : Kisah Nyata Seorang Muallaf

Alexander Litvinenko Mendapatkan Hidayah Jelang Kematian


alexander-litvinenko

Nama Alexander Litvinenko mungkin tidak begitu asing terdengar di telinga sebagian masyarakat dunia. Sosoknya memang sempat menghiasi pemberitaan di berbagai media internasional pada paruh kedua tahun 2006 silam, setelah kematiannya terungkap karena dibunuh dengan racun sejenis bahan radio aktif isotop polonium 210.

Sebelum ajal menjemput, ternyata mantan agen mata-mata rahasia badan intelijen Rusia, Federal Security Sevice (FSB) itu berpesan agar ia dimakamkan dengan cara Islam. Memang, saat itu hanya beberapa orang terdekat Litvinenko yang mengetahui perihal keislamannya.

Sejumlah media massa internasional memberitakan bahwa upacara pemakamannya memang dilakukan secara rahasia yang dihadiri sedikitnya 30 orang kerabat dekat Litvinenko Upacara pemakamannya sendiri dilangsungkan di kawasan utara Kota London, Inggris. Upacara terpisah untuk menghormatinya yang terakhir kali juga diselenggarakan di Masjid Regent’s Park, London.

Ini sesuai dengan keinginannya agar prosesi pemakamannya diselenggarakan sesuai dengan syariat Islam. Bahkan sang ayah, Walter Litvinenko, dilaporkan ikut menghadiri upacara di Masjid Regent’s Park bersama pentolan pejuang Chechnya, Akhmed Zakayev.

Kerabat Litvinenko mengatakan, ayah tiga anak itu sudah menjadi Muslim sebelum meninggal. Menurut Walter, anak laki-lakinya itu sudah menyatakan diri masuk Islam saat terbaring sekarat di Rumah Sakit London sampai akhirnya meninggal pada 23 November 2006. “Litvinenko masuk Islam dua hari sebelum ajal menjemput,” kata Walter kepada Radio Free Europe.

Mengritik Vladimir Putin

Semasa berkarier di FSB, ia memperoleh penghargaan gelar ‘Veteran MUR’ atas operasi-operasi yang dilakukannya dengan MUR (Departemen Investigasi Kriminal Moskwa). Litvinenko juga melakukan dinas militer aktif di banyak wilayah yang disebut titik panas dari bekas Uni Soviet dan Rusia.

Namun semasa hidupnya, Litvinenko dikenal sebagai seorang pengkritik rezim Presiden Vladimir Putin, khususnya terhadap Chechnya. Karena sikapnya ini, tak mengherankan jika namanya dimasukkan dalam daftar pencarian orang di Moskwa, sebagai salah satu pembangkang terpenting dari FSB.

Saat tinggal dan mendapat suaka politik di Inggris, Litvinenko sempat menulis sebuah buku yang isinya mengungkapkan peran FSB dalam peristiwa pengeboman di Rusia tahun 1999 yang menewaskan lebih dari 300 orang.

Buku berjudul “Blowing up Russia: Terror from Within” ini ia tulis tahun 2003. Dalam buku “Gang from Lubyanka”, Litvinenko menuduh bahwa Vladimir Putin secara pribadi terlibat dalam kejahatan terorganisasi ketika ia masih bekerja di FSB.

Akhir hidup sang telik sandi

Pada 1 November 2006, ia mendadak jatuh sakit saat melakukan penyelidikan mengenai kematian wartawati Rusia, Anna Politkovskaya. “Pada 1 November 2006 aku mengadakan dua pertemuan sekaligus. Yang pertama dengan seorang Rusia dan seorang lagi Andrey Logovoy, seorang mantan rekan di FSB yang kini menjadi pengusaha.”

“Kemudian, aku makan malam dengan seorang ahli keamanan Italia, Mario Scaramella, untuk membicarakan kasus terbunuhnya Politkovskaya. Pada pertemuan pertama itulah aku mencurigai ada hubungan dengan peracunan terhadap diriku,” demikian bunyi kesaksian tertulis Litvinenko yang dibacakan temannya setelah ia wafat.

Dalam kesaksian tertulisnya, Litvinenko juga mengungkapkan bahwa setelah perjamuan makan malam itu ia sempat mengalami kehilangan kesadaran selama beberapa jam.

“Aku telah dibungkam oleh Kremlin, karena aku telah mengancam untuk mengungkap fakta-fakta yang memalukan. Beberapa hari aku dirawat dan menjalani berbagai tes medis. Rambutku rontok, tenggorokanku bengkak, sistem kekebalan dan syarafku rusak berat. Dokter mengatakan aku menderita gagal jantung,” ungkapnya.

Sejak perawatan intensif di rumah sakit London, kondisi kesehatan Litvinenko terus merosot. Tim dokter yang menanganinya menyebutkan bahwa kemungkinan Litvinenko dapat bertahan adalah 50 banding 50 dalam masa tiga hingga empat pekan setelah peracunan itu.

Prediksi para dokter itu ternyata benar, pada tanggal 23 November 2006 seluruh organ tubuh Litvinenko ternyata tidak mampu lagi bertahan dari serangan racun tersebut.

Para pakar yakin kasus pembunuhan Litvinenko ini melibatkan pengetahuan ilmiah yang lumayan tinggi. Soalnya, racun yang ditemukan dalam dosis tinggi di tubuh Litvinenko adalah bahan radioaktif polonium-210 dosis tinggi yang sukar diperoleh.

Hasil investigasi pihak Scotland Yard mengungkapkan bahwa jejak radiasi ditemukan di lima lokasi di seputar London setelah kasus itu terjadi, termasuk sebuah restoran sushi dan hotel yang dikunjungi bekas agen rahasia yang tinggal di Inggris itu.

Sumber : https://kisahmuallaf.wordpress.com/2014/10/04/alexander-litvinenko-hidayah-jelang-kematian/#more-1505

Rabu, 19 November 2014

Kisah Mualaf Pertama Inggris yang Dilempar Kepala Babi


Kisah Mualaf Pertama Inggris yang Dilempar Kepala Babi

Dream - William Henry Quilliam, profesor hukum dari Inggris merupakan muslim pertama di negara itu. Quilliam yang membuka Institut Muslim Liverpool pada 1889 dikenal melawan arus masyarakat tempatnya karena berani masuk Islam.

Quilliam masuk Islam dua tahun sebelum mendirikan institut. Setelah menjadi mualaf, dia mengganti nama menjadi Abdullah. Institut Muslim Liverpool kemudian disulapnya menjadi Masjid.

Meski sempat ditutup, masjid itu baru-baru ini dibuka kembali setelah pemugaran dan mampu menampung 20.000 orang. Tempat ibadah ini pun menjadi salah satu destinasi wisata Umat Islam dunia.

Kisah mualaf Quilliam pertama kali ketika berkunjung ke Maroko. Dalam kunjungan itu, dia melihat sekelompok muslim yang baru saja pulang dari Mekah untuk berhaji. Melihat itu, dirinya tertarik dan mulai mempelajari Islam.

"Seorang kolega muslim kemudian menerangkan bahwa Islam adalah kelanjutan agama sebelumnya, Yudaisme, Kristiani. Semua penjelasan dianggap logis dan ia menjadi seorang muslim saat itu," kata Jahangir Mohammed anggota Masyarakat Abdullah Quilliam, seperti dikutip dari BBC.

Menurut profesor dari Universitas Royal Holloway, London, Humayun Ansari, dalam lawatannya itu, Quilliam juga melihat betapa bersahajanya masyarakat Maroko yang mayoritas memeluk Islam. Quilliam yang lahir di Inggris pada 10 April 1856 itu sungguh terkesan.

"Ia merasa bahwa orang di sana hidup sederhana. Dengan mengangkat moral dan ada suasana solidaritas, baik kaya maupun miskin," kata Ansari.

Saat kembali ke Inggris, Quilliam langsung mempromosikan Islam kepada masyarakat. Jalan dia tidak mudah, sebab masyarakat Inggris kala itu sangat resisten terhadap Islam, karena dianggap sesat. Jadi langkah Quilliam pindah agama ini dianggap sangat berani kala itu.

Dalam berdakwah, Quilliam juga membuat tulisan. Dia menerbitkan tulisan-tulisan itu dan menyebarkannya ke masyarakat. Kontan saja, masyarakat di Liverpool marah besar atas kelakuannya ini. Karya Quilliam ditanggapi dengan kemarahan dan juga kebencian.

Dalam tekanan hebat, Quilliam tak menyerah. Sedikit demi sedikit orang-orang di Liverpool berhasil dia ajak masuk Islam. Setelah banyak orang yang dia ajak masuk Islam, Quilliam membangun masjid.

"Ia berhasil mengajak 200 warga lokal dan 600 orang di seluruh Inggris untuk pindah agama. Dia juga menghabiskan banyak waktu melakukan syiar tentang Islam dan menegaskan bahwa Islam bukan agama setan," kata Jahangir Mohammed.

Keberhasilan Quilliam mengajak banyak orang masuk Islam inilah yang membuat kemarahan masyarakat Inggris semakin menjadi-jadi. Tak hanya psikologi, warga Ingris bahkan mulai melakukan serangan secara fisik.

"Orang datang dan menyerangnya. Mereka melempar kepala babi, silet, batu. Sejumlah di antara mereka dipicu oleh para pendeta, dan sebagian lain oleh media, namun ia tetap menghadapinya," tambah Mohammed.

Menurut Mohammed, serangan ini dihadapi Quilliam saat mendirikan media muslim pertama. Melalui karya-karya jurnalistik muslim inilah dia menanggapi segala serangan itu. "Ia mendorong warga muslim untuk menulis dan angkat bicara. Ia mengajukan petisi ke Ratu Victoria agar pandangannya didengar."

Tulisan-tulisan Quilliam menjadi bacaan penting dan salah satu bukunya Faith of Islam, memiliki tiga edisi yang diterjemahkan dalam 13 bahasa. Buku itu sangat populer dan bahkan Ratu Victoria juga memesannya.

Profesor agama dari Universitas Hope Liverpool, Ron Geaves, mengatakan bukan hanya tulisan Quilliam yang membantu mengubah pandangan publik tentang Islam. Quilliam juga mencari tahu mengapa Islam tiak populer di Inggris dan mengangkatnya dalam khotbah-khotbah di masjid.

"Ia mempresentasikan Islam dalam cara yang sangat rasional dan menarik bagi warga pada zaman Victoria, yang saat itu sangat memperhatikan sisi ilmiah," tutur Geaves.

Karya Quilliam menjadikannya diangkat sebagai Sheikh ul-Islam untuk Kepulauan Inggris oleh penguasa Ottoman Sultan Abdul Hamid II pada 1894. Juga diakui oleh Shah Persia serta Emir Afghanistan sebagai pemimpin musim Inggris.

Namun tingginya intoleransi agama menyebabkan Quilliam dan para pengikutnya pindah dari Inggris ke Istambul pada 1908. Dia kembali ke Inggris dengan nama Haroun Mustapha Leon dan menetap di Woking, sampai ia meninggal pada 1932.

Pada tahun 1999, kelompok muslim dari Merseyside mendirikan Masyarakat Abdullah Quilliam untuk mempertahankan peninggalannya. "Masjid ini sangat penting karena merupakan masjid pertama di Inggris. Pusat aktivitas Islam pada zaman Ratu Victoria dan lahirnya Islam di Inggris," ujar Geaves.

Sumber : http://www.dream.co.id/your-story/kegigihan-mualaf-pertama-di-inggris-1408066.html

Selasa, 18 November 2014

Para Mualaf Berkulit Putih



Tiga puluh tahun lalu, publik Barat hanya mencatat beberapa nama yang memutuskan menjadi Muslim. Di antara sedikit nama itu, ada juara tinju dunia, Muhammad Ali, atau legenda basket, Karim Abduljabbar. Beberapa tahun kemudian, beberapa nama disebut-sebut menjadi mualaf, antara lain : Ice Cube, dan Snoop Dogg.
Saat ini, banyak kulit putih yang juga menjadi muallaf, seperti Cat Steven, yang memutuskan menjadi Muslim pada tahun 1977 dan mengubah namanya menjadi Yusuf Islam. Lama vakum dari dunia hiburan, tahun 2006 ia merilis album berjudul “ An Other Cup”  yang ditujukan untuk para pengggemar setianya.
Kini, Cat Steven bukan lagi satu-satunya pria kulit putih abad ini yang menjadi Muslim. The Sunday Times melaporkan saat ini ada sekitar 14 ribu warga Inggris kulit putih yang menjadi Muslim. Di antara mereka, tercatat sejumlah pesohor negeri itu, antara lain Yahya (semula Jonathan Birt) , anak Lord Birt, mantan petinggi BBC, dan Emma Clark, cicit mantan perdana menteri Inggris Herbert Asquith, yang membawa Inggris dalam Perang Dunia I.
Beberapa memutuskan menjadi mualaf karena terinspirasi Charles Le Gai Eaton, mantan diplomat. Eaton, penulis buku Islam and the Destiny of Man, menyatakan banyak di antara warga kulit putih merindukan agama yang tidak berkompromi terlalu banyak dengan materialisme dan carut-marut kehidupan modern’.
Namun tak sedikit mereka yang menjadi Muslim karena “tali cinta”. Rumor yang beredar dan menjadi rahasia umum, menyebut Putri Diana sebelum tewas mengenaskan karena kecelakaan juga dikabarkan telah setuju untuk menjadi Muslimah, setelah berhubungan dekat dengan anak miliarder Inggris, Mohamed Al-Fayed, mantan  pemilik Harrods dan pemilik Fulham Football Club serta Hôtel Ritz Paris.
Selain itu, beberapa pengusaha terkemuka juga menjadi mualaf. Di antaranya adalah The Earl of Yarborough, yang memiliki estate seluas 28 acre (setara 11331,22 hektare) di Lincolnshire. Ia memiliki nama Muslim Abdul Mateen.
Ada juga Charles Annenberg Weingarten, direktur Annenberg Foundation di Amerika,  ia merupakan putra miliarder Yahudi Walter H Annenberg.
Charles Annenberg belakangan membuat kisah dokumenter perjalanan spiritualnya ke Timur Tengah dengan temannya yang adalah seorang Muslim. Ia menulis, “Beberapa mualaf di Barat adalah para bekas hippies dan aktivis antiperang serta antikapitalisme pada era 1960-1970-an. Di suburban Philadelphia, Bahwa Muhaiyaddeen Fellowship menjadi satu Islamic Center dengan banyak menarik minat para aktivis dan Yahudi untuk bertukar keyakinan menjadi Muslim.
Pesan yang disampaikan adalah tentang kedamaian hati, kesabaran, percaya dan memasrahkan semuanya kepada kemauan Yang Maha Segalanya.” Tak dijelaskan apakah dia kemudian menjadi Muslim setelah bergabung dengan organisasi itu, atau bahkan sebelumnya.
Islam juga menyebar di antara warga AS keturunan Amerika Latin. Professor Hjamil Marta­nez-Vazquez dari Texas Christian University mengklaim ada lebih dari 100 ribu di antara mereka yang memutuskan menjadi Muslim. Kini, banyak organisasi Muslim di antara mereka, di antaranya Los Angeles Latino Muslim Association. Umumnya mereka menganggap Islam penuh pesan kesetaraan, hal yang berlawanan dengan latar belakang mereka yang penuh penindasan.
Banyak di antara wanita Latin yang menikahi pria Muslim dengan alasan pria Muslim lebih sederhana, berorientasi pada keluarga (family oriented), dan melindungi. Mereka juga anti-hura-hura, menjauhi minuman keras dan narkoba, tidak berselingkuh, dan jauh dari tindak kriminal.
Sekarang, dunia berharap pada kiprah para intelektual dan pesohor mualaf ini untuk membantu mengubah gambaran negatif tentang Muslim, terutama di media Barat.
Sumber : http://www.eramuslim.com/dakwah-mancanegara/para-mualaf-berkulit-putih.htm#.VGvjYzSUdgQ

Sayed Man: Ketika Masuk Islam, Akan Kehilangan Banyak Teman Tapi Temukan Saudara



Saat pindah ke bagian barat Jerman, usai tembok Berlin runtuh, Sayed Mann, kala itu 12 tahun, adalah bocah yang tengah bingung mencari identitas diri. Keluarganya berasal dari Jerman Timur. 
Tumbuh besar di lingkungan sosialis, agama tidak pernah ada dalam kamus keluarga dan hidupnya. Ia cenderung tersenyum sinis saat melihat orang-orang pemeluk keyakinan tertentu, apalagi Muslim,
Di Jerman Barat ia melihat situasi yang berbeda. Imigran lebih banyak dijumpai dan ia pun berkawan dengan beberapa orang asing.
“Saya tidak terbiasa dengan kehidupan baru saat itu,” aku Sayed. “Kami tiap hari hidup seperti sampah. Idola kami adalah orang-orang kulit hitam Amerika yang tinggal di pemukiman terisolir,” tuturnya.
Mengidolakan mereka, pria yang dulunya bernama Sved Mann itu pun juga mencontoh perilaku para imigran itu. “Saya melakukan banyak hal buruk termasuk mencuri dan sebagainya,” kenang Sayed.
Hingga akhirnya ia bertemu dengan seorang imigran berasal dari Turki yang menjadi kawan akrabnya. Si kawan itulah yang kemudian mengenalkan Sayed pada Islam dan berhasil mengajaknya memeluk agama tersebut.
Kawan Sayed memiliki kakak lelaki seorang imam masjid lokal. Ketika si adik memberi tahu niatnya untuk mengajak Sayed berkunjung ke masjid, sang imam mengaku pesimis.
“Saya bilang, ‘Dia? Tidak Mungkin’. Tapi adik saya sudah bertekad bulat. Bahkan ia mengatakan Sayed akan memeluk Islam sepulangnya saya dari bepergian,” tuturnya.
Tiga bulan kemudian, ketika si imam pulang kembali ia tiba-tiba disambut oleh Sayed dengan sapaan Assalamu’alaikum. “Wow saya terkejut. Ini benar-benar luar biasa,” ujarnya. “Saya bahkan sempat bertanya (pada Sayed-red) ‘Apa yang terjadi padamu?’”.
Rupanya si imam memahami selama ini Sayed selalu mencari, namun ia tak pernah-pernah meluangkan waktu dan cenderung mengabaikan ketimbang bersungguh-sungguh.
“Ia mengatakan selalu percaya dengan keberadaan Tuhan, saya kira itulah yang menuntun dia,” kata si imam. “Saya melihat ia bahagia telah menemukan Islam.
Kini si imam bahkan menjadi guru mengaji Sayed. Dengan disiplin ia belajar bahasa Arab demi dapat membaca Al Qur’an
Tapi Sayeed tak ingin disebut pindah agama. “Tak pernah ada istilah berubah agama dalam Islam,” ujarnya. “Dalam Al Qur’an disebutkan tak ada paksaan dalam beragama,” imbuh Sayed lagi.
Lalu? “Saya lebih suka mendeskripsikan sebagai ‘seseorang telah mengenalkan saya pada Islam dan saya menuju agama itu,” papar Sayed.
Ketika ditanya oleh Cengiz Kultur, sebuah proyek independen pembuatan film dokumenter tentang agama dan budaya di Jerman, mengapa ia memilih Islam, dengan mantap Sayed menjawab, “Karena pada akhirnya nanti semuanya adalah Islam,” ujarnya menekankan pada makna kata tersebut yakni berserah diri.
Ia telah mengucapkan ikrar dengan syahadat sepuluh tahun lalu. Sejak saat itu ia rajin membaca untuk mengetahui dan mengenal lebih dalam apa makna Islam, termasuk bagi dirinya.
Islam bagi Sayed adalah menyerahkan keinginan diri di bawah kehendak Tuhan. Mengapa ia mau melakukan? “Karena dengan itu nanti saya dapat bertemu dengan Pencipta saya, saya dapat menjumpai surga. Saya berhak untuk itu dan saya kira itulah Islam menurut saya saat ini,” papar Sayed ketika ditanya esensi Islam .
Sejak sepuluh tahun pula, Sayed melakukan shalat lima kali dalam sehari. “Ketika anda shalat anda absen dan istirahat dari dunia dan seluruh isinya. Anda membersihkan dan menghadap Sang Pencipta,” ujarnya.
Ia mengaku tak ada strategi khusus untuk melakukan shalat lima kali dalam sehari di Jerman. “Setiap orang pasti bisa menemukan tempat untuk berwudhu, membasuh diri dan melakukan shalat,” ujarnya tanpa beban.
Sayed mengaku menemukan keyakinannya setelah diskusi panjang dengan si kawan tadi dalam satu malam. “Setelah itu saya langsung menyatakan ingin pergi ke masjid bersamanya,” ungkap Sayeed.
Ketika itu subuh dan seorang anak kecil tengah melantunkan ayat-ayat suci Al Qur’an. Tiba-tiba Sayed pun menangis. “Saya tidak tahu mengapa. Saya tidak paham bahasa Arab, saya tidak tahu apa yang ia baca, tidak tahu apa pun,” kenangnya.
“Tapi hati saya jelas telah memahami sesuatu. Itu benar-benar pengalaman luar biasa,” tutur Sayed. “Saya yang hidup di jalan ala gangster tiba-tiba bisa menangis dan tidak tahu mengapa.”
Kini selain ketenangan dan keteraturan hidup Sayed juga menemukan hal berharga lain dalam Islam. “Ketika anda menjadi seorang Muslim, anda kehilangan teman tetapi anda mendapatkan saudara,” ujarnya. Dengan segera anda menjadi anggota sebuah keluarga. Ini sesuatu yang tidak bisa saya peroleh dalam gereja-gereja di Jerman.”

Sumber : http://www.eramuslim.com/dakwah-mancanegara/sayed-man-ketika-masuk-islam-akan-kehilangan-banyak-teman-tapi-temukan-saudara.htm#.VGvlOTSUdgQ

Rabu, 05 November 2014

Abdul Raheem Green, Menemukan Tuhan Dalam Islam

abdul-raheem-green-_120221104538-955
KisahMuallaf.com - ”Apa tujuan hidup di dunia ini?”Pertanyaan yang terus berkecamuk di hati Abdul Raheem Green itu mengantarkannya pada sebuah pencarian spiritual. Bagi sebagian orang, manusia hidup untuk menjadi kaya. Namun, Green tahu itu bukanlah jawaban yang sebenarnya.
”Benarkah menjadi kaya akan membuat seseorang bahagia?” tanyanya dalam hati. Ternyata, kekayaan tak berbanding lurus dengan kebahagiaan.
Banyak orang kaya di dunia ini, tapi mereka tak merasakan kebahagiaan. Tak mudah bagi Green untuk menemukan jawaban tentang tujuan hidup di dunia ini.
Ia mencari jawaban atas pertanyaannya melalui jalur spiritual. Ia sempat berganti-ganti agama untuk mendapatkan jawabannya. Namun, beberapa agama yang sempat disinggahinya tak mampu memberikan jawaban. Di akhir pencariannya, ia berkenalan dengan Islam.
Hati Green pun terpikat pada Islam. Agama yang dibawa Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallammampu memberinya jawaban atas pertanyaan yang selalu mengusik kehidupannya. Lantas, bagaimanakah Islam menjawab pertanyaan seorang pria bernama Green?
Green terlahir dari sebuah keluarga yang menganut Katolik Roma. Keluarganya sangat patuh terhadap ajaran agama. Ayahnya seorang tentara dan ibunya adalah seorang polisi di salah satu kota di Inggris.
Kedua orang tuanya bersepakat membesarkan buah hatinya dengan nilai-nilai agama. Mereka memasukkan Green ke sekolah asrama Katolik. Sekolah asrama itu cukup terkenal di Inggris. Green pun cukup senang belajar di sekolah tersebut.
Selain menimba pelajaran umum, Green dan murid-murid lainnya harus mengikuti pelajaran agama, seperti membaca Alkitab dan sejarah-sejarah Kristen.
Awalnya, tidak ada masalah yang berarti bagi Green ketika belajar di sekolah asrama Katolik itu. Semua mulai berubah ketika ia berpikir tentang Tuhannya, Yesus.
Green berpendapat, sosok Tuhan tidak mungkin bisa mati. Ia juga berpikir, bagaimana mungkin seorang Tuhan memiliki seorang ibu? ”Kalau Tuhan memiliki ibu, maka ibunya adalah Tuhan dari Tuhan,” pikirnya. Hal ini mengganjal terus hingga ia dewasa.
Ia tidak dapat menerima kenyataan itu. Lalu, Green berusaha mencari tahu mengapa Tuhan memiliki seorang ibu. Akan tetapi, ia tidak menemukan jawaban atas pertanyaannya itu.
Orang-orang yang ia tanya tidak dapat menjawabnya. Mereka hanya meminta Green untuk memercayai dan mendengarkan apa yang diajarkan padanya.
Namun, rasa ingin tahunya lebih besar daripada rasa takutnya. Green tidak mau menyerah. ”Apabila orang lain tidak dapat menjawabnya, aku akan mencari sendiri jawabannya,” ujar Green penuh semangat.
Ketika usianya semakin beranjak dewasa, pertanyaan lain muncul dalam hidupnya. ”Apakah yang menjadi tujuan dalam hidup ini? Apakah hidup itu hanya seperti memiliki pekerjaan bagus, hidup yang normal dan indah, serta uang yang banyak? Apakah kehidupan itu seperti itu? Lalu, bagaimana dengan kematian?”
Ia amat yakin kehidupan yang dijalaninya tak semata untuk mengumpulkan uang, memiliki keluarga, dan menjalani kehidupan monoton seperti yang banyak dilakukan orang sekarang. Green meyakini, ada sesuatu yang lebih dari itu.
Karena tidak menemukan jawabannya dari Katolik yang dianutnya sejak lahir, Green mencoba mencarinya dalam agama Buddha. Ia mencari tentang kehidupan di agama Shidarta Gautama itu.
Green mempelajari banyak hal dari Buddha. Meskipun banyak orang menganggap Buddha bukanlah sebuah agama, ia menemukan banyak nilai positif di dalamnya. Tapi, tidak menemukan adanya Tuhan dalam agama tersebut. ”Meski begitu, saya tetap percaya adanya Tuhan, karena saya tahu Dia ada,” kata Green.
Buddha mengajarkan hidup adalah penderitaan. Manusia harus mencari jalan keluar sendiri untuk melepaskan diri dari penderitaan dan mencapai nirwana. Green merasa hal ini tidaklah sesuai dengan hatinya. Memang, ia menemukan banyak ajaran baik dalam Buddha.
Tapi, kalau hidup penuh penderitaan? Green harus berpikir ulang. Ajaran Buddha tidak lagi membuat perasaannya tenang dan Green tidak menemukan jawaban dari pertanyaan fundamentalnya: ”Mengapa manusia ada di bumi?”
Tak puas dengan apa yang ia dapatkan di ajaran agama lain, Green sempat memutuskan untuk membuat agama sendiri.
Ia mengombinasikan agama-agama dan filosofi yang ia pelajari selama ini menjadi satu dan membuatnya menjadi ‘Agama Green’. ”Masa-masa itu menjadi pengalaman spiritual terburuk dalam hidup saya,” aku Green mengenang.
Karena tidak menemukan kebenaran juga, Green mulai berpikir, mungkin memang tidak ada agama yang benar di dunia ini. Mungkin, semuanya memang seperti ini adanya dan ia harus menerima itu.
Barangkali, di dunia ini tidak ada jawaban yang dapat membuatnya paham mengenai apa yang harus manusia lakukan dan apa tujuan manusia dilahirkan.
Sempat ia hampir menerima kenyataan tujuan dalam hidup ini hanyalah mencari uang dan menumpuk kekayaan. Masalahnya, Green bukanlah orang kaya dan dia belum cukup kaya untuk mencapai ‘tujuan hidup’ yang ia maksud. Ia harus banyak belajar dari orang-orang yang bisa menghasilkan banyak uang.
Ia mengetahui orang Arab sangatlah kaya karena minyak yang dihasilkannya. ”Mereka tinggal mengatakan Allahu Akbar, lalu uang muncul di depan mereka. Semudah itu?” kata dia.
Terpikir pula olehnya agama yang dianut orang-orang Arab, yakni Islam. Agama ini belum pernah disentuh Green sebelumnya. Karena penasaran, akhirnya Green mempelajari terlebih dahulu agama yang berasal dari Timur Tengah ini, sebelum ia memutuskan untuk menjadi kaya.
Green membeli sebuah terjemahan Al-Quran di toko buku dan membacanya. Green membacanya berkali-kali dan menemukan ada yang tidak biasa dalam buku tersebut. Green merasa buku ini tidak ditulis sembarang orang. Dari situ, Green mulai mempelajari tentang Islam.
Perlahan-lahan ia mulai menyadari Islam adalah agama yang menjawab semua pertanyaannya. Islam memberinya pedoman dalam kehidupan dan memberikan cahaya pada setiap jalan yang ia tempuh.
Islam juga menjawab pertanyaan Green mengenai Tuhan. Tuhan adalah satu dan ia tidak memiliki ibu juga tidak mati. Tuhan adalah pencipta seluruh alam dan melalui para nabi, Tuhan menyampaikan apa yang perlu manusia lakukan di dunia dan apa yang tidak boleh mereka lakukan.
”Saya menyadari, buku ini berasal dari Tuhan. Dia telah memberikan jawaban atas pertanyaan saya selama ini,” kata Green bahagia.
Ia juga menemukan jawaban atas tujuan hidup di dunia ini, yakni untuk beribadah dan menyembah Sang Khalik demi mendapat kehidupan yang abadi di hari akhir.
Kini, Green berkhidmat dalam Islam. Ia mempelajari Islam dan menyebarkannya. Dakwah adalah jalan hidupnya.
Source : Republika